Asahan |piv.co.id-Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Laporan Keuangan Pemerintah Kabupaten Asahan Tahun 2023 dengan Nomor 41.A/LHP/XVIIL.MDN/05/2024 tanggal 16 Mei 2024 kembali menyingkap persoalan serius dalam penatausahaan aset tetap milik daerah.
Dalam laporan tersebut, nilai aset tetap Pemerintah Kabupaten Asahan per 31 Desember 2024 mencapai Rp3,179 triliun, dengan rincian antara lain: Tanah Rp902,9 miliar, Peralatan dan Mesin Rp650,8 miliar, Gedung dan Bangunan Rp1,25 triliun, Jalan-Irigasi-Jaringan Rp2,38 triliun, Aset Tetap Lainnya Rp174,7 miliar, Konstruksi Dalam Pengerjaan Rp50,2 miliar, serta Akumulasi Penyusutan Rp2,239 triliun.
Namun, di balik angka fantastis tersebut, BPK menyoroti lemahnya pengelolaan dan penatausahaan aset, di antaranya:
Kartu Inventaris Barang (KIB) A sampai D (Tanah, Peralatan dan Mesin, Gedung dan Bangunan, Jalan, Irigasi, dan Jaringan) dinyatakan belum memadai.
Terdapat pencatatan secara gabungan pada KIB E (Aset Tetap Lainnya) yang seharusnya diuraikan secara rinci.
Mengacu pada Pasal 4 ayat (1) PP Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, Sekretaris Daerah adalah pejabat yang bertanggung jawab selaku Pengelola Barang Milik Daerah (BMD).
Lebih jauh, Pasal 3 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menegaskan bahwa setiap pejabat wajib mengelola dan mempertanggungjawabkan keuangan maupun aset negara/daerah secara tertib, taat aturan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab.
Dengan dasar hukum tersebut, lemahnya penatausahaan aset tetap sebagaimana diungkap BPK bukan sekadar catatan administratif, melainkan tanggung jawab hukum sekaligus moral Sekda Kabupaten Asahan.
Pertanyaan Publik yang Belum Terjawab
Sejumlah pertanyaan mendasar kini menggantung di ruang publik dan mendesak jawaban Sekda Asahan:
1. Mengapa penatausahaan dan pengelolaan KIB A sampai dengan KIB D masih belum memadai?
2. Apa alasan pencatatan aset tetap lainnya di KIB E dilakukan secara gabungan, padahal seharusnya dirinci?
3. Langkah konkret apa yang sudah dan akan dilakukan untuk menindaklanjuti rekomendasi BPK?
4. Bagaimana mekanisme pengendalian internal saat ini agar pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD) lebih optimal?
5. Apakah sudah ada pejabat atau pihak tertentu yang diberi teguran atau sanksi akibat lemahnya penatausahaan aset tetap tersebut?
Risiko Hukum Bila Lalai
Ketidakjelasan pengelolaan aset daerah berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 22 UU Nomor 1 Tahun 2004. Jika ditemukan penyimpangan, hal tersebut dapat menyeret pada pertanggungjawaban pidana sesuai Pasal 3 dan Pasal 8 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Artinya, kelalaian dalam pengelolaan aset tetap bukan hanya melanggar prinsip transparansi dan akuntabilitas, tetapi juga dapat berimplikasi pada konsekuensi hukum yang serius.
Sekda Asahan Bungkam
Publik menanti jawaban terbuka dari Sekda Kabupaten Asahan. Namun, sampai berita ini tayang, belum ada jawaban resmi dari Sekda. Padahal, tautan konfirmasi yang dikirimkan melalui WhatsApp sudah bertanda centang dua, yang berarti pesan telah diterima.
Sikap bungkam ini semakin menambah tanda tanya besar atas keseriusan Pemerintah Kabupaten Asahan dalam menindaklanjuti rekomendasi BPK serta menjaga akuntabilitas pengelolaan aset rakyat.
Dengan nilai aset tetap yang mencapai lebih dari Rp3 triliun, lemahnya penatausahaan sebagaimana dicatat BPK bukanlah masalah sepele. Pertanggungjawaban yang jelas dari Sekda Asahan sangat diperlukan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat.
Sebab, aset tetap daerah adalah milik rakyat. Mengelola dengan jujur, transparan, dan akuntabel bukan hanya kewajiban administratif kepada BPK, tetapi juga amanah konstitusi serta kewajiban hukum yang melekat pada setiap pejabat negara.
(Red)